Selasa, 09 Juni 2020

Pujian Tidak Membuatmu Berkembang

Sejak dulu SMA, gue termotivasi sebuah film based on story Facebook yang berjudul The Social Network. Film itu mengisahkan Mark Zuckerberg mendirikan Facebook bersama teman-teman kuliahnya. Kesuksesannya menjadi pemicu gue dan menjadi api semangat untuk mempelajari bahasa pemrograman.


"Mark Zuckerberg aja bisa, masa gue gak bisa?" Pemikiran ini hadir saat gue SMA pada tahun 2011 lalu. Sejak saat itu gue mulai belajar otodidak pemrograman. Entah dari modul perkuliahan sepupu gue yang kuliah di jurusan komputer, atau beli buku pemrograman di toko buku, dan banyak lagi cara yang gue lakukan supaya bisa mengerti pemrograman.

Bahkan saking nerd-nya gue dulu di SMA, ketika istirahat terkadang gue isi untuk baca buku pemrograman yang tebel banget, bikin berangkat sekolah lebih berat karena tas isinya begituan. Sampai temen-temen bahkan guru tahu kalau gue sangat antusias dengan komputer, dan akhirnya pembina OSIS minta gue menjabat jadi kepala bidang komputer di OSIS. Karena gue merasa itu bentuk apresiasi, akhirnya gue menerima jabatan itu.

Singkat cerita, sejak SMP sebenernya gue memang suka main komputer. Walau di rumah gak ada komputer, tapi setiap hari gue ke rumah sepupu cuman untuk main game di komputer dia. Sampai muncul pemikiran, yang sepertinya hampir semua orang di jurusan komputer berpikir sama, "Kayaknya seru juga kalau kerja di depan komputer gini." Iya gak sih? Dan gue berencana untuk lanjut sekolah ke SMK yang ada jurusan rekayasa perangkat lunaknya.

Tapi apa daya, saat itu kedua kakak gue sedang kuliah, dan pasti butuh biaya besar untuk itu. Ditambah orang tua juga berprinsip kalau jenjang sekolah menengah lebih baik yang umum dulu. Dan membuat gue berakhir bersekolah di SMA. Dengan kondisi itu sedikit banyak muncul juga motivasi, seakan gue terbakar dengan sebuah argumen pribadi, "Walau gue sekolah di SMA, tapi gue gak boleh kalah dari mereka yang sekolah di SMK." Karena fasilitas yang berbeda jadi gue harus berusaha ekstra untuk mencapai itu.

Dengan seluruh kondisi tadi, gue sering otodidak belajar pemrograman, ditambah kesibukan OSIS, ternyata gue gak sehebat itu dan yang terjadi adalah nilai raport pun hancur. Hal yang pasti dibenci oleh seluruh anak di dunia ini gue rasa adalah "Dibanding-bandingkan." Karena raport yang merah, akhirnya orang tua gue pun membandingkan gue dengan kedua kakak gue. Memang mereka tipikal yang raport selalu ranking 1, 2, atau 3. Karena kesal akhirnya gue membalas ucapan dengan argumen bahwa gue gak bisa pintar di semua pelajaran, gue pengen fokus di bidang komputer. Dengan cukup membuat gue terdiam Bapak gue bilang, "Terus apa buktinya?"

Kata-kata itulah yang menjadi titik balik dimana gue yang saat itu merasa sudah berusaha keras menjadi lebih keras lagi. Karena ternyata usaha itu belum membuahkan hasil, dan gue akui itu.

Hingga waktu berlalu dan tiba-tiba sekolah meminta beberapa siswa untuk ikut berlomba di olimpiade sains. Karena olimpiade itu terdapat bidang komputer, lalu gue yang sebenernya raport gak bagus ini pun diminta ikut berpartisipasi. Gue masih ingat saat itu semua siswa yang ikut olimpiade diminta berkumpul di sebuah ruangan, disana hanya berisi siswa-siswa teladan yang beranking tinggi. Sepertinya cuman gue disitu yang rankingnya 2 digit.

Beberapa minggu kita lalui dengan belajar materi olimpiade dengan guru pembimbing di setiap bidang. Guru bidang komputer gue saat itu meminjamkan buku pemrograman yang kalau gue bandingkan dengan buku yang selalu gue bawa ternyata jauh lebih tipis. Karena bahasa pemrogramannya berbeda, jadi perlu waktu juga untuk gue beradaptasi dengan bahasa pemrograman yang dipakai untuk olimpiade itu.

Lalu tiba waktu olimpiade. Lokasinya lumayan jauh dari sekolah gue. Secara prestasi memang sekolah gue sangat jarang bisa lanjut ke tingkat selanjutnya, yaitu provinsi. Jadi sepertinya pihak sekolah pun tidak berharap banyak saat itu. Soal yang diberikan saat itu kurang lebih mirip dengan contoh-contoh soal, dan gue merasa cukup percaya diri. Setelah selesai mengerjakan soal, siswa dari sekolah gue berkumpul di kantin lokasi olimpiade, dan dari obrolan-obrolan yang keluar, mereka sepertinya kurang percaya diri, bahkan dengan ranking mereka di sekolah yang jauh di atas gue.

Hingga waktu pengumuman. Dan ternyata hasilnya sangat mengejutkan. Alhamdulillah. Gue satu-satunya siswa dari sekolah yang lolos ke tingkat provinsi.

Rasa haru saat itu mengingatkan gue akan apa yang Bapak gue sampaikan. Dan dengan berbangga hati saat itu gue bisa menghadapi beliau dengan membawa secarik kertas sertifikat olimpiade tingkat provinsi dan berkata, "Ini buktinya." 


5 komentar:

  1. Kutipan pemaen legenda Persib Adjat Sudrajat banget ini, "Besar oleh cacian, pujian adalah racun."

    Saya juga nerd dulu pas SMA, tapi kayaknya kebalikan ini banget, rangking bukan hanya dua digit tapi dua terbawah, di sekolah ga ikutan ekskul apa2, hobinya ke warnet ambil paket lima jam maen game online, di rumah lanjut nonton tipi heu.

    BalasHapus
  2. Dan benar jika seseorang sudah lupa daratan akibat mabuk pujian, maka ia akan tumbang dengan sendirinya.
    Menurutku bangga boleh, tapi tetap rendah hati dan tetap mau bersusah payah berusaha tetap jadi yang terbaik.

    BalasHapus
  3. Sebenarnya pujian tidak selamanya buruk. Kadang kita butuh pujian agar terasa effort kita tu ada artinya. Selama tidak mabuk pujian dan akhirnya jadi sombong.

    BalasHapus
  4. benar banget dulu kalau ada orang yang suka memuji kita disuruh ambil pasir dan dilempar kemukanya

    BalasHapus