Jumat, 17 Agustus 2012

Ibuku adalah Cahayaku

Seseorang yang rela bertarung dengan kematian untuk melahirkan kita, yang mau merawat kita dari kecil hingga tak ada akhirnya, yang bisa melakukan apapun demi kita, seseorang yang tak mungkin bisa digantikan, yang tak pernah bisa kita balas semua jasa dan kasih sayangnya, ialah ibu. 3 huruf itu adalah sebutan untuk dia yang menjadi orang tua kita semua, orang tua berkelamin wanita, wanita luar biasa yang terbaik sepanjang masa.

Bayangkan jika ibu enggan untuk melahirkan kita? Jika ia merasa melahirkan kita adalah hal bodoh yang tak akan ia lakukan? Karena memang benar adanya disaat ia melahirkan kita maka hidupnya lah yang akan ia pertaruhkan. Tapi tidak, ia tidak seperti itu. Ia melakukannya! Ia melahirkan kita! Walau resiko itu begitu terngiang di benaknya, namun melahirkan kita begitu penting dan harus baginya.

Begitu banyak darah yang ia keluarkan, rasa sakit yang tak mungkin terbayangkan, beban perut yang menyimpan kita selama 9 bulan tak pernah ia keluhkan pada kita disaat kita telah merangkak ke alam dunia. Ia bahkan tersenyum bahagia.

Dari saat kita kecil mungil tak berdaya, hanya ia yang mengerti kita disaat bahasa yang kita mengerti hanyalah menangis. Di malam hari ia akan terbangun dan menghapus tangisan kita, di pagi hari, di siang hari, di sore hari, kapan pun jika kita menangis maka ia kan menghapusnya. Ia memberikan asinya, air susu berharga yang mungkin jika dijual akan sangat mahal. Ia memberikannya dengan gratis tanpa bayar.

Lalu apa yang telah kita berikan padanya? Apa yang kita balas atas semua kebaikannya itu? Bisakah kita memberikan semua yang telah ia berikan? Memberikan darah kita layaknya ia mengalirkan darahnya demi kelahiran kita? Mampu terbangun disaat malam demi menghapus tangisan? Atau memberikan asi untuk mengembalikan asi nya yang telah kita minum? Semua itu terdengar tak mungkin. Tapi walau hal-hal itu tak mungkin lalu apa balasan kita padanya?

“Nak, tolong belikan terigu di warung”
“Ahh.. malas bu! Si kaka atau si ade aja yang belinya!”

Apa ia akan marah dan menangis? Ia tersenyum dan menganggap hal itu tak pernah ia dengar.

APAKAH SETIMPAL? APA YANG IA BERIKAN DENGAN APA YANG KITA BALAS?

Peluk ibu dan minta maaflah padanya kini! Sebelum apa yang tak kita semua inginkan terjadi. Wallahu a’lam ajal adalah hal misteri dari-Nya.

Rabu, 18 Juli 2012

Temen itu Segalanya (Kalau Nggak Ada Pacar)

Friend is everything, friendship is more important than anything. Ya, itulah yang biasanya suka digembar-gembor sama orang yang baru beres putus sama pacarnya, terus move on-nya suka gara-gara dibantu sama temennya. Sebenernya itu bagus banget menurut gue, tapi gak sampe everything atau more than anything gitu juga sih, berlebihan banget.

Indahnya.

Tapi disisi lain, kadang sering banget terjadi pemanipulasian ucapan dimulut para pemunafik cinta. Jujur aja, gue sering banget ngerasa kalau ada beberapa temen gue yang kelakuannya kayak gini:

“Waktu doi putus sama pacarnya dan otomatis doi galau, doi deket banget sama gue dan selalu curhat sama gue. Dan setelah doi mendapatkan pacar baru (galau is over for him), doi lupain gue”. Yang punya temen kayak gini angkat tangan!

Disini sebenernya susah buat nyari siapa yang salah dan siapa yang bener. Soalnya ini persoalan yang rumit. Dikala doi galau, nggak mungkin kan doi curhat sama yang doi galauin? Ya pasti sama temennya. Disaat doi jadian, nggak mungkin kan doi pacaran sama temennya? Ya pasti sama pacar barunya lah. 

Dan hal ini biasanya mempunyai poros yang sama, yakni putus-galau-move on (bareng temen)-jadian sama yang baru (lupa sama temen)-putus- dan terus kembali terulang.

Temen yang jadi benda buat ajang move on kayak gue cuman bisa pasrah aja, lagian dia temen gue, dan gue juga punya prinsip friend is everything, cuman bedanya, gue nggak jadian-jadian. Jadi nggak akan lupa sama temen. Insya Allah.

Gue punya satu pesen buat mereka yang melakukan hal terkutuk di atas.

“Ingat siapa yang berada disampingmu disaat sedih, jangan lupakan mereka disaat senang”

So, jangan jadi kacang lupa kulit atau burung lupa daratan, apalagi makan di warteg lupa bayar. Sayangi teman lo, mereka adalah orang yang berada di belakang lo ketika lo butuh maupun nggak butuh.

Sabtu, 14 April 2012

Mending Disebut Banci atau Idiot?

Ini pengalaman pribadi gue pas pelajaran pendidikan jasmani dan rohani (olah raga) kelas 11 SMA. Jadi ceritanya tuh gini, sebelum masuk ke materi olah raga, guru olah raga nyuruh kita pemanasan, tapi menurut gue sih lebih ke panas-panasan, soalnya pemanasannya di tengah lapangan yang terkena sinar UV secara langsung dan itu panas banget.

Tu dua tu dua.

Awalnya gue ikut panas-panasan sama yang lainnya, karena emang di suruh pemanasannya di tengah lapangan. Tapi itu nggak lama. Gue langsung pindah ke tempat teduh gara-gara gue mengetahui satu fakta bahwa, kita disuruh pemanasan sambil panas-panasan sama guru olah raga, tapi guru olah raganya malah diem di tempat teduh. Emang kampretty banget ini guru, menganiaya siswa secara tidak langsung.

Melihat kejeniusan gue yang nggak takut dimarahin sama guru soalnya gue punya alibi kalau dimarahin bakal jawab, "Bapak aja di tempat teduh, ngapain saya panas-panasan?" Beberapa ada yang ngikutin gue ke tempat teduh, dan ada juga yang malah ngeledek gue sama yang ngikutin gue banci.

Gue yang merasa dihina mulai mengeluarkan alibi lain, gue bilang, "Mending gue banci daripada lo pada idiot mau aja disuruh panas-panasan padahal yang nyuruhnya aja di tempat teduh". *Kemudian hening*